Senin, 18 Oktober 2010

Hutang Indonesia, Gitu aja kok repoot....

Berbicara tentang Indonesia dan hutang, maka kita berbicara mengenai sebuah jalinan benang kusut yang semakin ditarik, makin kusut dan menjerat. Tidak mudah memang berbicara mengenai hutang Indonesia, apalagi dikaitkan dengan kemiskinan. Banyak hal terkait disana, teori, lembaga, kebijakan, konflik interest dan sederet hal lain yang menjadi premis dari hutang dan kemiskinan Indonesia. Susah membahasakan, begitulah kiranya kata yang tepat untuk menggambarkannya. Tulisan ini akan saya mulai dengan beberapa pertanyaan retoris seputar realitas hutang Indonesia;

Pertama, Tahukah kita, bahwa tingkat hutang luar negeri kita, - baik dari sejak konvensi KMB di deenhaag belanda yang memutuskan bahwa Indonesia menanggung hutang luar negeri hindia belanda untuk pengakuannya sampai dengan tegaknya pemerintahan SBY kali ini – ternyata telah melampaui level batas aman (angka psikologis aman adalah 30% - 40% PDB) ? yang berarti bahwa hutang Indonesia meski dihitung dari nilai produksi total, baik dari hutang maupun modal sendiri, sungguh telah akut???

Kedua, Tahukah kita, andaikan dalam kondisi normal, stabilitas Negara terjamin, tidak ada lagi hutang luar negeri dan tidak ada kewajiban lagi untuk membayar bunga atas hutang yang lalu, Indonesia memerlukan waktu minimal 100 tahun untuk mengembalikan hutang Luar Negerinya? (hutang LN Indonesia sekarang sekitar 2.000 Trilyun,data januari 2010 dengan kemampuan membayar per tahun 15-20 trilyun;data Bank Indonesia_Red;nyari datanya susah nih…)

Ketiga, Tahukah kita, utang luar negeri kita memakan porsi yang besar dari cadangan devisa (sekitar 25 – 30 %) sehingga stabilitas makro kita berada pada posisi yang sangat rentan ?

(Cadangan devisa (Bahasa Inggris: foreign exchange reserves) adalah simpanan mata uang asing oleh bank sentral dan otoritas moneter. Simpanan ini merupakan asset bank sentral yang tersimpan dalam beberapa mata uang cadangan (reserve currency) seperti dolar, euro, atau yen, dan digunakan untuk menjamin kewajibannya, yaitu mata uang lokal yang diterbitkan, dan cadangan berbagai bank yang disimpan di bank sentral oleh pemerintah atau lembaga keuangan.)

Keempat, Tahukah kita bahwa lebih dari 25% APBN kita, termasuk didalamnya PPh dan PPN yang susah payah dibebankan kepada masyarakat ternyata digunakan untuk membayar hutang LN pemerintah tersebut?

Dan terakhir, tahukah kita bahwa untuk mengatasi Load Hutang Indonesia yang sudah menggelembung demikian besarnya, pemerintah menerapkan kebijakan penjadwalan ulang hutang terus-menerus yang berarti bahwa hutang tidak terbayar ini diestafetkan dari generasi ke generasi (belum ditambahkan dengan hutang tahun berjalan pemerintahan)?

Lima pertanyaan retoris tadi kira kira tellah memberikan gambaran terhadap kondisi Negara kita berikut dengan hutang dan implikasi yang menyertainya. Rasio Hutang luar negeri Republik Indonesia terus membumbung tinggi. Data Bank Indonesia (BI) mencatat, Januari 2009, nilai utang luar negeri Indonesia baru sebesar 151,457 miliar dollar AS dan sampai akhir Januari 2010, utang luar negeri mencapai 174,041 miliar dollar AS. Bila dikonversi ke dalam mata uang Rupiah dengan kurs Rp 10.000 per dollar AS nominal utang itu hampir mencapai Rp 2.000 triliun. Sedangkan saat ini, Kemampuan pemerintah untuk Membayar Hutang Luar Negeri hanyalah berkisar 20 Trilyun per tahun, artinya perlu 100 tahun dalam kondisi normal untuk membayar hutang Luar negeri Indonesia. Dan hutang ini akan terus bertambah ketika setiap pemimpin haya memikirkan masa periodik kepemimpinannya saja. Artinya, diperlukan sebuah model manajemen hutang yang benar benar integral dan terukur, sedikit radikal memang tapi akan baik untuk kedepannya sehingga hutang Negara Indonesia tidak lagi menjadi hutang turunan.

Pemerintah, dengan kebijakan Ekonomi Makro model klasik beranggapan bahwa untuk menstabilkan kondisi, tolok ukur yang dipakai adalah debt ratio (rasio hutang; outstanding hutang/PDB), artinya bahwa jika debt ratio terlalu tinggi maka penjadwalan ulang hutang diperlukan sehingga hutang diperpanjang, dan menaikkan PDB. Hal ini berlaku untuk semua hutang, jangka pendek, panjang, dalam maupun luar negeri. PDB yang tinggi menandakan kemakmuran bangsa. Benarkah???

Kebijakan lain lagi, pemerintah mengalokasikan lebih dari 25% APBN untuk pembayaran hutang dan bunga hutang Luar Negeri. Sungguh sangat ironis mengingat Pajak yang dibebankan terhadap masyarakat digunakan sebagian besar untuk pembayaran hutang (ingat biaya pendidikan yang 20% saja sekarang memiliki efek yang luar biasa??, coba kalau yang digunakan membayar hutang itu untuk kepentingan kemanfaatan bangsa…). Memang hutang memiliki jatuh tempo, tapi soal penganggaran pembayaran hutang, kita harusnya lebih paham terhadap kebutuhan dapur kita dahulu.

Paradigma inilah yang perlu diubah. Secara teori memang kebijakan kebijakan tersebut tampaknya benar, akan tetapi jika ditinjau dari aspek tekhnis maka hal tersebut kurang tepat. Pendekatan diatas mengabaikan fakta bahwa hutang dan pembayaran hutang pemerintah selalu mempunyai konsekwensi keadilan sosial, baik antar kelompok masyarakat maupun antar generasi. Misal : apakah hutang yang lebih besar dan semakin besar benar benar akan menjamin kesejahteraan masyarakat secara umum dan merata? Atau hanya pihak kapitalis saja yang memanfaatkannya? Faktanya, Data ICW mengemukakan bahwa meskipun hutang bertambah, masyarakat bawah semakin terperosok secara kesejahteraan, siapa yang salah??? Lagi, mengenai pembayaran hutang, tidak adanya batasan minimum dana untuk pembayaran hutang (hanya ngenut saja) menyebabkan bangsa ini kurang mendapatkan dana untuk pembangunannya sendiri, karena lebih dari 25% APBN digunakan untuk Pembayaran hutang, porsi pemanfaatan untuk kegiatan kesejahteraan masyarakat terbatasi. Kebalikk??? Yaa!!! Seharusnya kita menjadwalkan dahulu anggaran untuk kebutuhan dapur kita baru untuk pembayaran hutang. Itu akan lebih bijak dan adil terhadap bangsa ini.

Memang, kita dididik untuk tidak menjadi bangsa pengeluh ditengah carut marutnya bangsa ini, ada beberapa solusi sebenarnya terkait permasalahan hutang turunan kita.

Pertama, Pengurangan Tingkat Hutang Luar Negeri, Sekali lagi Tingkat Hutang sehingga lebih terkendali (suistinable), yang mencakup membatasi jumlah hutang (lagi) dan mengurangi hutang yang sudah ada, banyak jalan sebenarnya. Negara kita kaya akan SDA, Optimalisasi internal adalah kuncinya.

Kedua, Berlaku Bijak terhadap pembayaran Hutang Luar Negeri yang sudah ada. Membatasi rasio pembayaran hutang hingga titik terendah sehingga APBN bias optimal digunakan untuk kepentingan dan kesejahteraan bangsa ini. Agar pemanfaatannya benar benar digunakan untuk sektor internal yang memiliki multiplier output, pendapatan dan kesempatan kerja yang besar.

Ketiga, dari sisi pemanfaatan hutang, menekan bahwa pemanfaatan hutang LN hanya untuk hal yang sifatnya produktif bukan konsumtif. Pengendalian pemanfaatan hutang, bukan pengendalian hutang, itu kuncinya.

Bangsa yang besar adalah bangsa yang mau menghargai setiap hasil dan usaha bangsa itu sendiri…...bukan besarnya utang yang memiskinkan kita sendiri, gitu aja kok repoot..... ^_^

(berbagai sumber, mr.husni_talented@yahoo.com, 18102010;13.30)

Tidak ada komentar: