Sabtu, 16 Oktober 2010

Aku, Cerita dan Permata Manikamku...


Cerita#1; Seminggu yang lalu tepatnya, sabtu cerah yang dinantikan hampir separuh warga bantul yang ikut bersamaku berkendara melewati jalan imogiri timur menuju Kota Yogyakarta. Wajah wajah sumringah yang kulihat hanya sekali dalam seminggu ditengah tempaan nasib dan teriknya mentari yang tak henti hentinya memukul mukul wajah wajah tua itu menjadi pesona tersendiri ditengah tengah perjalanan menuju tempat kerjaku tiap hari sabtu, ya…hanya hari sabtu kutemukan aura seperti ini. Senin, selasa bahkan sampai jumat tak pernah kutemui tatapan mata dan senyum misteri seperti ini, entahlah…mungkin kalau diatas kepala tiap manusia yang kutemui ini ada layar LCD flat Panasonic ataupun kamera hologram yang mampu menampilkan isi cerebrum mereka, mungkin akan terkuak misteri dibaliknya, entah itu berupa baju baru buat sang isteri, jatuh tempo hutang yang akhirnya bisa terbayarkan separuh pada pekan ini ataupun mainan buat anaknya yang telah satu bulan ia tunda membelinya.
Senyum itu begitu misterius sampai seolah mereka mengumandangkan koor yang begitu padunya, bahwa “senyum sabtu ini hanya milik saya seorang”..senyum sabtu yang memberi dan membeli kebahagiaan. Mereka memang “hanyalah” buruh kasar pekerja yang tidak seberapa hasilnya dibandingkan dengan pejabat ataupun pegawai kantoran. Tapi senyum itulah yang membuat mereka laksana malaikat bercahaya dibalik bungkusan legamnya kulit dan kasarnya tangan-kaki mereka, seolah senyum kala sabtu itu bersuara “hari ini, aku akan mendapatkan hak ku, kerjaku, hasil keringatku, untuk kebahagiaanku dan rumah tanggaku…..”. senyum itulah yang lain, senyum tanpa keluhan sedikitpun seolah enam kali tigapuluhlimaribu rupiah itu benar benar cerminan tetes tetes berlian yang harus ia pertahankan dan dapatkan untuk membeli seonggok kebahagiaan untuk sepekan kedepan. Sungguh sebuah cerminan sederhana dari sebuah penghargaan yang luarbiasa terhadap sebuah pekerjaan, tanggungjawab, kewajiban dan hak yang harus didapatkan atas apa yang telah ia lakukan…

***
Cerita#2; Masih kuingat juga kala itu, bersama si ASS00YY, sebutan untuk motor tuaku, dijalanan imogiri timur yang cukup ramai. Disebuah perempatan tempatku berhenti lampumerah telah bersinar dengan angkuhnya dengan angka 112 dipucuk tiangnya. Disamping kiriku tampak sebuah sepeda motor terbaru model sporty, shock depan diturunkan dan shock belakang yang meninggi ditambah dengan cakram depan belakang dan beberapa aksesori tambahan diluar sparepart toko serta kemulusan body, seolah menegaskan bahwa pemiliknya memiliki jiwa muda yang gaul abis dan dari kalangan yang cukup berada. Memang, pengendaranya adalah anak SMA. Usia 17 tahun kutaksir. Seragam abu abu putihnya yang sudah mulai tidak standar, celana dibuat model junkies dan baju yang digulung, membuat otak analitikku menginformasikan bahwa anak ini berada bukan pada tingkat satu SMA, mungkin tingkat dua atau tiga yang sudah terkena dampak “Ngeyelisasi” sebagai akibat dari “Unjuk Eksistensi”. Wajar, bathinku…tokh, aku juga pernah Es Em U dan pernah mengalami seperti itu.
Singkat cerita, tiba tiba, disebelah kirinya, bermaksud seorang ibu berkebaya dengan menjinjing “kronjot” (tempat sayuran) diatas sepeda onthel luwuknya –yang pastinya bukan gazelle- hendak mendahului si anak 17 tahun tadi. Tanpa sengaja dan diduga, sedikit dari kronjotnya mencolek body motor baru si anak muda. Tiada bergores memang kulihat, tapi berasa.
Si anak muda melihat ibu tua berkebaya, dan ibu tua pun melemparkan senyum termanis dan tunduk hormatnya sebagai pengganti kata “ maaf saya telah menyenggol motor barumu ya nak, tidak sengaja”. Namun apa yang terjadi sungguh diluar dugaan, motor baru meraung raung dengan garangnya diikuti pandangan mata tuannya yang seakan membalas senyuman tadi dengan kata ”wuuu, ngawur kii…!!!”. Ibu tua berkebaya terkejut, sepeda terlepas dari genggamannya dan jatuh seketika.
Si anak muda puas dengan tingkahnya. Melihat angkuh kedepan seolah dia adalah pemenang piala dunia. Yang ia pikirkan adalah bahwa ia telah membalas ibu tua berkebaya yang telah menyenggol motor barunya, tanpa pernah berpikir bahwa ia berada pada jalur sepeda, jalur hak ibu tua. tanpa pernah ia berpikir bahwa ibu itu orang yang lebih tua, tanpa pernah berpikir bahwa ibu tua berkebaya itu juga manusia dan tanpa berpikir bahwa sepeda dan kronjot tua itu adalah penyambung hidup dari sebuah keluarga.

***

Cerita #3; Kelulusan kuliah selalu dinantikan setiap mahasiswa di kampus, begitu juga denganku. November 2007, momen yudisium yang bersejarah buatku kala itu. Dengan jas pinjaman seharga 75.000 disebuah salon, kuberdiri laiknya presiden membuka pidato kenegaraan. Dengan beberapa seremonial kampus, akhirnya upacara pun selesai. Setiap mahasiswa diperkenankan pulang.
Ku melihat seorang kakek, berpeci kusam dengan guratan otot dan keriput di kulitnya yang menunjukkan bahwa ia telah lanjut usia, berjalan tertatih (karena memang sudah agak bungkuk), mendekati, menyalami dan memeluk kerumunan dosen yang masih tertinggal disana dengan penuh rasa hormat. Senyum bahagia diwajahnya menggambarkan bahwa rasa terima kasihnya tidak terkira kepada mereka. Bahwa cucunya akhirnya bisa menjadi seorang sarjana, bahwa biaya yang dikeluarkan walau harus menggadai tanah akhirnya tidak sia sia, bahwa mereka telah berhasil mendidik dan mengantarkan cucunya….. Tunggu dulu mana si cucu??? Ia berjalan dengan enggan mengikuti tarikan tangan semangat kakeknya, menyalami dosen sekedar basa basinya dengan senyum manis dibuat-buatnya. Ia masih ingat, nilai nilai yang diberikan dosen dosen tersebut tak pernah memuaskannya, hanya seputar C dan D bahkan ada yang K sehingga harus diulangnya. “ tokh ngapain aku harus berterima kasih kepada mereka…” begitu mungkin pikirnya. Ia lupa, bahwa selama 5 tahun dosen dosen tersebut mendampingi dan membimbingnya, berembug dan mati matian mengusahakan yang terbaik untuknya, tambahan nilai dan katrolan sampai ia memiliki gelar sarjana. Ia lupa, nilai C yang diterimanya telah membutakan 5 tahun kasih sayang, usaha dan pengabdian mereka untuk pendidikannya…

***

Cerita#4; Jakarta, 2009. Masa pencarian kerja. Ditengah pergolakan pencari kerja di tanah rantau yang begitu hebatnya,temanku mengajak makan di sebuah angkringan diseberang restoran hanamasa (restoran jepang dengan sistem all u can eat dengan membayar charge untuk 1x makan).
Dekat dengan restoran itu, ada seorang peminta-minta yang duduk beralaskan kardus bertuliskan sebuah merk mie instant dengan tangan yang seolah telah distel seorang mekanik canggih untuk menghadap ke atas tanpa bergerak sedikitpun. Khidmat seolah sedang menantikan datangnya sebuah mukjizat yang akan mengisi kekosongan diatas nampan.
Dan kejadian pun dimulai, Serombongan gadis muda belia yang sibuk membicarakan pelayan restoran yang ganteng dengan potongan harajuku-nya lewat saja didepan peminta minta tanpa sedikitpun menoleh ke hadapannya. “Satu…” bathinku saat itu…Beberapa menit kemudian, Lewat beberapa orang kantoran lagi yang sepertinya tengah selesai acara ulang tahun disana -berbicara tentang sushi dan sashimi yang mereka makan tadi begitu lezatnya- satu diantaranya, melihat sekilas dan akhirnya lewat saja didepan peminta minta….”dua” bathinku…. Terakhir, keluar dari restoran itu sepasang muda mudi, melihatnya dan si laki laki mengeluarkan dompet dari sakunya, lama ia memilah dan memilih- sampai akhirnya ia menemukan yang dicarinya, sebongkah 500 perak yang ia selipkan tadi. Dan mereka berdua-pun pergi…mereka semua, entah tak mengerti atau telah menjadi kebiasaan diri, didalam hanamasa tadi, mereka mengeluarkan ratusan ribu untuk makan sekali….dan 500 Perak untuk seorang peminta minta yang telah tidak makan nasi selama tiga hari….Sampai akhirnya ada seorang kakek tua yang duduk disampingku menghampirinya dan memberikan dua bungkus nasi kucing-bukan sushi ataupun sashimi yang berharga ratusan ribu- cukup nasi bungkus berharga duaribu perak ternyata mampu melebarkan senyum bahagia sang peminta-minta.
kalau begitu, disebut murah atau mahal-kah kepedulian itu….???

***

Teman, ini adalah kisahku, bukan kisahmu, bukan pula kisahnya ataupun mereka. Aku hanya berbagi cerita sederhana yang terjadi disekitar kita. Cerita tentang penghargaan terhadap hasil usaha, rasa hormat dan keramahan, terima kasih atas pengabdian dan kepedulian akan kehidupan orang lain. Beberapa hal yang dulu merupakan adat kebiasaan yang sekarang bak permata manikam, mahal dan tidak setiap orang mampu untuk memilikinya. Ataukah memang hal tersebut memang telah terkubur oleh longsoran tanah globalisasi yang begitu dalamnya sehingga hanya yang memiliki mata bur keikhlasan tajam yang mampu menggalinya?
Disini kuceritakan dan jika kuceritakan maka akan ku pikirkan -kuharap kau pun begitu kawan- sebuah adat ketimuran, kearifan lokal yang membesarkan bangsa ini bermula dari hal yang sangat sederhana. Sebuah kata bernama “Penghargaan”. Adat ketimuran begitu meng-agungkan penghargaan, Penghargaan yang menjelma dalam tiap sendi kehidupan dengan berbagai transformasi bentuknya. entah itu menjadi lebarnya senyuman, penghormatan, kesyukuran bahkan pemberian. Teringat kata ibuku dahulu,

”kabeh kui ono ajine le, mengkono iku dasare ngajeni, nek kowe wis iso ng-aji sawijining urip, ajenono gek undhuhen wohing diajeni tumraping liyan…..”

(semua itu pasti ada harganya nak, itulah dasar mengapa kita harus menghargai, kalau kamu sudah bisa memberi nilai terhadap kehidupan ini, hargailah hal itu, dan petiklah penghargaan yang sama dari nya…)

dan tiba tiba empat kelebat bayangan-pun lewat didepanku, kayuhan sepeda kala sabtu, ibu tua berkebaya dan anak Es Em U, si kakek, dosen dan si cucu, serta pengemis dan pak tua disampingku……akupun haru dan tersipu, berusaha mencari dimana permata manikamku….
(Imogiri, 15102010;02.29pagi; By : mr.husni_talented@yaho.com )

Tidak ada komentar: