Rabu, 26 Januari 2011

Mbah Pertiwi, Pak Kartanegara dan 27 anaknya…

kriiieeeekkk, blugh!….kusandarkan sepeda reyotku ditengah tumpukan kardus berharga 1500 per lembarnya itu. Letih, tubuhku kurebahkan begitu saja disebelahnya seolah tempat itu adalah sofa terempuk yang pernah ada. Setelah kuambil cangkir-ku dan mereguk sisa-sisa ampas teh tang

terakhirku, kutengadahkan kepala ke atas atap seng bekas pembangunan mall yang kubeli 1 tahun yang lalu. Disana, jauh diatas sana mengintip cerahnya langit yang bertabur bintang malam ini, kupejamkan mata sejenak dan kuhela nafas….

”huff…..kapan semua ini akan berakhir”, pikirku…

”tapi kamu sudah berjanji untuk membawanya kembali min” suara satunya mencoba mengatakan kepadaku.

“tapi…tapi…aku sudah mulai lelah dengan pencarian ini”….suara itu mencoba kembali menguak realita perjalananku satu setengah bulan ini.

“bagaimanapun, kamu tidak boleh menyerah begitu saja, kamu harus kuat parmin….” Timpal satunya berusaha menguatkan keyakinan atas prinsip dan idealitaku.

“Aaarggghhh…..!!!” kubanting topi butut yang sedari tadi nangkring diatas kepalaku…”pusiiinnggg…”, kelebat demi kelebat pikiran seolah memberikan pertimbangan akan keberadaanku ditempat ini dan keputusan akhirku nanti.


Kupandangi lagi langit dari balik celah atap seng itu, kuteringat kembali alasan utama, satu satunya alasan kenapa aku ada ditempat kumuh ini. Seorang nenek tua, reyot, bungkuk….wanita dengan senyum termanis yang menampakkan merahnya bibir karena daun sirih dan gigi ompongnya itu. Seorang wanita bernama “mBah Pertiwi”…..

***

Tak ada yang pernah tahu kapan dan dimana dia lahir dan tinggal. Yang jelas, dia mengerti benar kala kumpeni –begitu dia menyebutnya – masih bercokol di Negara ini. Hari harinya dipenuhi dengan cerita, dan sirih yang tak pernah lepas dari mulutnya. Kadang gelak, tawa, tangis, sedih dan gembira bercampur dan berbaur dengan raut mukanya seolah ia kembali ke masa mudanya, yah…bisa dilihat, ia merindukan hal itu. Rindu sebagai seseorang yang dikelilingi orang orang yang menyayanginya, mempedulikannya dan menganggapnya. Hanya ceritanya itulah yang mampu ia sandarkan sebagai obat pelipur lara kala kesendiriannya.

Setidaknya Hal itulah yang aku perhatikan, kecil, kumuh dipojokan mall yang begitu angkuhnya berdiri, kontras sekali. Beralaskan Koran dengan pakaian kebaya khas jaman dulu yang telah menunjukkan guratan usangnya. Duduk dan mengamati lalu lalang kota ini, itulah yang dilakukannya. Kadang ketika banyak anak kecil yang menghampiri, ia mengumbar cerita dan wajah ceria kembali datang menghinggapinya, namun ketika siang menjelang dan tiada lagi anak anak yang datang, wajah sendu itu kembali datang. ia hanya duduk, tidak menengadahkan tangan tanda meminta seolah ia hanya ingin melihat tempat ini. Masih kuingat dua bulan yang lalu, ketika sore itu ia menghardik seseorang karena memberinya selembar uang.

“aku ki dudu wong ngemis…!!!” hardiknya tatkala seorang ibu didepanku bermaksud memberikan selembar uang kertas coklat ditangannya. Si ibu Nampak terkejut dengan sikapnya, niat baik pun diurungkannya sambil memohon maaf kemudian bergegas berlalu dari tempat itu.

Aneh, benar benar aneh…cukup lama kuamati, setidaknya enam hari ia datang ketempat itu, kumuh, kecil dipojokan mall tempat aku biasa menjadi juru parkir. “Kalau bukan belas kasihan dan materi, lalu apa yang ia cari ditempat ini “ fikirku kala itu.

Lalu, ketika sore keenam menjelang dan parkiran pun sudah mulai sepi, aku pun memberanikan diri untuk duduk disampingnya,

“amit mbah, nyuwun sewu…ada yang bisa saya bantu?” tawarku tulus. Iapun hanya tersenyum datar dan kemudian menggelengkan kepalanya tanda tidak ada apa apa yang ia inginkan dariku. Lalu ia membuka mulut dan berkata,

“hmm,tidak le, terima kasih. Tapi kalau thole mau, mari duduk sini…duduk sama simbah ” begitu katanya, dua lambaian dan tiga kali gerakan menyapu lantainya sudah kuartikan sebagai izin darinya untukku mendekat.

“kenapa mbah?”, sambil berkata begitu kulambaikan dua jariku kepada pemilik warung koboi seberang jalan. Aku ingin mendengarkan cerita darinya…

“he heh…nda pa pa le,mungkin aneh bagimu simbah dari beberapa hari duduk disini, simbah Cuma pengen mengingat mbah kakung, itu saja” jawabnya sambil terkekeh. Jujur, tebakan jitunya membuatku malu. Jadi ini alasan dirinya berada disini selama enam hari ini…

“oh, suami mbah maksudnya?” timpalku mencoba mengorek keterangan darinya.

“iya..simbah kangen, sudah hampir 8 tahun kung meninggalkan simbah” tiba tiba raut muka itu meredup sehingga menampakkan kesedihan yang luar biasa. Kesedihan akan kehilangan sesuatu yang dicintainya, dikasihinya dan dijadikan sandaran kehidupannya. Air matanya menetes…..

Lalu aku duduk bersila disampingnya sambil menyodorkan gelas teh tubruk yang dibawa pelayan warung koboi seberang jalan tadi. “minum mbah…” tawarku, aku ingin mendengar lebih banyak lagi…

gelas minum itu pun diterimanya dengan senyuman tersungging di bibirnya, tegukan demi tegukan kunantikan dengan seksama dengan harapan ia akan membuka mulutnya untuk memulai ceritanya lagi.

“Namanya Kartanegara, tahun empatpuluh lima merupakan tahun awal kami merenda kasih saat simbah kakung melamarku…” ia kembali memulai ceritanya sambil menunjukkan sebuah photo lusuh.

“bahagia sekali kala itu le, setelah melalui banyak halangan dan cobaan dalam hubungan kami, mulai dari restu dari orangtua sampai orang orang yang mencampuri hubungan kami, akhirnya kamipun berhasil melengkungkan janur diatap rumah…” sejenak pandangannya menerawang jauh mengingat ingat kembali serpihan serpihan memori masa lalunya yang indah. Akupun meng-angguk.

“Saat itu, simbah yakin bahwa mbah kakung adalah pilihan yang tepat buat simbah. Ia bukan orang yang kaya, bukan pula orang terpandang. Ia hanyalah seorang buruh macul yang kesehariannya hanya dibayar 5 sen, hanya cukup untuk beli beras 1 liter, sayurnya petik dikebun ” ia kembali mengisahkan.

“tapi ada hal lain yang membuat simbah tertarik, dia itu, meskipun hidup mbabu, tapi semangat kerja yang luar biasa dan mentalnya adalah mental seorang pekerja keras bukan mental seorang babu…semangat hidup layak, begitulah simbah menyebutnya. Tidak tergantung dengan orang, tapi selalu berusaha ada untuk orang lain. Mental itulah yang mbah butuhkan untuk hidup keluarga simbah. hidup itu kita yang menjalani, ibarat pisau, sebagus apapun, tergantung pemakainya. Begitupun sebuah keluarga, tergantung nahkodanya…dan mbah tahu dia mampu menahkodainya…”

“hal lain yang simbah ingat darinya adalah kesederhanaannya, ia tidak pernah mau melebihkan dari apa yang diperlukan dan dicukupkan. Ia hanya mengambil sesuai keperluan dan takarannya. Pernah mbah tanya mengapa kalau dia minta dibuatkan minuman hanya selalu ingin tigaperempat gelas saja, tidak lebih. Jawabnya - wetengku ki mung cukup semono, nek kebak ra muat, mengko ndak mung muspro-. Makan satu setengah enthong kecil dan beberapa hal kecil lainnya. Ia hanya ingin cukup, tidak lebih.

Soal anak, Alhamdulillah, perhatiannya luar biasa besar. memang kami diberi kemudahan oleh yang diatas, kami termasuk keluarga besar. termasuk anak angkat, yang ikut simbahmu ada duapuluhtujuh. Ia tidak pernah pilih pilih, sayang pada semuanya dan karena anaknya banyak, maka dulu kami punya cara, yang paling gedhe punya tanggungjawab momong yang paling kecil, nomor dua momong kakaknya yang paling kecil dan seterusnya. Dengan begitu kami lebih ringan. Saat itu benar benar saat yang membahagiakan le….” Sambil begitu, ia mengambil kembali satu tegukan tehnya, memejamkan matanya seolah ia tak ingin pergi dari waktu waktu bahagianya yang telah lalu. Setelah puas bermain dalam dunia khayalnya, Ia kembali melanjutkan ceritanya…

“tapi, semua itu berubah sejak bencana itu terjadi….meletusnya merapi kala itu membawa goncangan yang hebat bagi keluarga kami. Harta benda kami porak poranda tersapu awan panas dan lahar dingin. Lebih lagi, bagi dia, menyapu mentalnya…pekerjaan sebagai buruh macul saat itu tidak laku, abu vulkanik saat musim panas dan kemarau berkepanjangan di tahun tujuhpuluh-an menyurutkan niat dari juragan-juragan tanah untuk mengolahnya. Keluarga kami macet, bingung… Hanya pacul-lah yang kami punya untuk pintu rezeki kami…

Ditengah kebimbangannya sebagai seorang nahkoda, dan tanggungjawabnya sebagai seorang kepala keluarga, ia ditawari oleh seorang temannya modal pinjaman untuk berusaha. Terjepit, tanpa pengalaman dan pendidikan, ia mengambilnya. Julukan kami berubah, menjadi manusia hutang. Beberapa tahun berlalu, hutang demi hutang terus saja melilit kami tiada ampun dan peduli. Lalu julukan kami berubah lagi, menjadi manusia materi.

Iapun berubah. Apa apa, ia ukur dengan uang dan materi. Segalanya harus ada hitungannya…dari manusia sederhana menjadi gila harta. Keluarga kami morat-marit. Kami sering bertengkar, anak anak kami tidak terurus. Beberapa yang tidak betah, minggat entah kemana. beberapa yang bertahan, ia manfaatkan untuk urusan dunianya. Ia membalik dunianya. Anak untuk menambah materinya” tiba tiba air matanya menetes, seolah ia menaburkan garam sendiri pada luka yang ia punyai.

“Pertengkaran terakhir, membuatnya pergi. Simbah sudah tidak kuat, beberapa anak simbah telah minggat, beberapa sakit sakitan, bahkan ada yang sudah meninggal. Bukan materi yang mbah cari, tapi hidup yang tentram. Simbah sampaikan itu, kami bertengkar hebat dan akhirnya ia terpojok, ia pergi tanpa pamit dan tanpa membawa apapun hingga saat ini”.

Ia menghela nafas, berat untuk ia rasakan memang.

“simbah merasa bersalah le…” ia melanjutkan ceritanya.

“karena itulah simbah telah bertahun tahun mencarinya, melihat kembali tempat tempat dimana kami sering datangi mengharapkan bahwa ia ada disana juga…mbah ingin ia kembali, mbah ingin berbakti, surga mbah tak akan terbuka tanpa kuncinya le…” tutupnya sambil menyeka air matanya.

“maafkan simbah le, kalo bicara soal kung simbah rasanya jadi pengen nangis..” ia menambahkan. Jadi begitu rupanya, sungguh seperti sinetron saja. Di usia senjanya yang ku taksir 80 tahunan, seharusnya ia menikmati ketenangan yang ada, tapi yang terjadi malah sebaliknya.

‘hmm…” kuhirup nafas dalam dalam sampai akhirnya aku memutuskan…

“baiklah mbah, ngaten mawon…simbah pulang dulu, photonya simbah kakung sini saya bawa, biar saya bantu nyari…nanti saya kabari kalo ada nggih…saya kan masih muda mbah, sendiri juga, masih banyak teman, masih bisa kemana mana…” begitulah akhirnya putusku.

“benar le?” ia mencoba mencari jawaban dimataku seolah keputusanku tadi tidak cukup memberikan ketegasan baginya. Aku pun mengangguk dengan yakinnya.

Ia menyodorkan sebuah photo seorang kakek tua ompong berpeci sambil berkata “jangan sampai hilang ya le, ini satu satunya yang mbah punya sekarang…”

***

Suara adzan dan kokok ayam terdengar sayup sayup dan telah menyadarkanku, masih disamping sepeda reyotku ditengah tumpukan kardus berharga 1500 per lembarnya, yang seolah tempat itu adalah sofa terempuk yang pernah ada. Aargh, aku tertidur rupanya…keletihan dalam pencarian membuat tenagaku benar benar habis. Segera kuambil air wudlu dan kutunaikan shalatku, walaupun miskin harta, aku tak ingin miskin jiwa.

Setelah shalat dan mengaji satu “ngain” istilahku untuk satu “ruku’” dalam al-qur’an, lalu akupun duduk dibalai balai depan rumah seng-ku sambil menyeruput teh panas yang baru saja kubuat tadi. Mengepulnya asap teh menimbulkan aroma dan sensasi rasa yang luar biasa di pagi ini, segar dan penuh gairah. Aku kembali memikirkan soal mbah tiwik, bagaimanapun juga aku harus membantunya. Sudah terlalu lama ia menderita, sudah terlalu lama ia sebatang kara.

Satu tegukan lagi dalam teh panasku yang masih mengepul menimbulkan sensasi dan senyum kepahaman diwajahku. Memang gusti alloh itu maha adil, membangun sebuah keluarga, sama saja dengan membangun sebuah Negara dan sebaliknya…berpikir sederhana, membangun sebuah Negara itu tak ubahnya seperti membangun sebuah keluarga. Titik point terpenting dalam membangun Negara adalah adanya kepala negara yang mampu menahkodai, dan penumpang yang percaya padanya. Tidak cukup hanya itu saja, keduanya harus saling menjaga.

Jadi ingat masa kecilku dulu, ketika ditanya oleh bu tuginem, guru SD yang jadi favoritku karena parasnya yang cantik…

“mau jadi apa kalau sudah besar nanti min?”

“mau jadi Duta Besar buu…”jawabku tegas…

Senyum lagi, Inilah kesempatanmu min, hatiku berkata kepadaku. Jadilah Duta Besar sekarang, bantulah Negara kecilnya utuh kembali…ia hanya ingin itu, Negara yang punya presiden; Presiden tegas yang apa adanya, mampu mengupayakan kesejahteraan lahir bathin negaranya, menyatukan kembali ego dari tiap anak anaknya…Negara yang ingin tenteram kembali, tanpa hutang, materialisme dan intrik politik didalamnya. Walaupun sederhana, tapi mulia…”biar miskin asal tenteram, daripada kaya tapi harus mbabu pada yang kasi modal” begitu timpal mbah tiwik kala itu. Mungkin mbah pertiwi bukan seorang negarawan, tapi jelas ia pahlawan. Bagiku siapapun yang berjuang demi suatu keyakinan dan kebenaran, itulah pahlawan. bukan seseorang yang hanya mencari sensasi dan keuntungan ditengah pergolakan, cuih…!!!

Dan pagi pun kembali memberikan senyumnya padaku, ketika kuteguk kembali teh panasku yang entah kesekian kalinya, saat itu pula sinar mentari merekah merah dari ufuk timur seolah memanggil dan menguatkan azzamku untuk bergegas mengawali lagi pencarian ini. Segera kumasukkan kedalam tas, photo seorang kakek tua ompong berpeci yang kudapat dari mbah tiwik. Sambil berucap bismillah, kulangkahkan kaki menuju sepeda onthelku sebelum tiba tiba ada suara ketukan dipintuku, dan disana ada seorang laki laki tua peminta-minta, berbaju lusuh, ompong dan memakai peci hitam….

(Yogyakarta, 26 Januari 2011)

Tidak ada komentar: